Sabtu, 27 Juli 2013

Renungan Ramadhan......

Ramadhan, Aku Pura-pura Rindu
karya Azhar Nurun Ala @azharnurnala
Jujur ini Jleb banget 
Ramadhan, ternyata selama ini kami cuma pura-pura merindukanmu.
Sejak dua bulan lalu ketika kami panjatkan doa kepada Allah untuk disampaikan kepadamu, kamiselalu bilang kami begitu merindukanmu. Ketikaitu pula, kami selalu bilang kami tak sabar lagiuntuk berjumpa denganmu—takut rasanya, bila
ternyata umur ini membuat kami tak punya
kesempatan untuk kita saling menyapa, saling mengisi, saling menyemangati. Akhirnya sampai
juga hari ini, bahkan sudah separuh Ramadhan kami jalani.
Benar sekali, sukacita kami menyambut
kehadiranmu. Apa lagi yang kami tunggu? Maka petasan meledak dan berisik di sana-sini, masjid-masjid kembali hidup, kitab-kitab dibersihkan dari debu yang menyelimutinya entah sejak kapan—Ramadhan lalu barangkali, berbondong-
bondong kami berangkat shalat taraweh meski berat sebab perut kami masih dalam keadaan kenyang keterlaluan, pukul tiga acara televisi sudah ramai dengan lawakan-lawakan yang tidak lucu, dan seperti biasa: lagu-lagu religi diperdengarkan di mana-mana.
Inikah juga yang kau harapkan wahai Ramadhan?
Tiap hari kami menghitung lembar-lembar kitab yang telah kami baca, kami tersenyum: sudah banyak, insyaallah targetan kami tercapai. Kami tak terlalu peduli apakah kitab yang bolak-balik kami baca itu kami mengerti atau tidak, apalagi mengamalkannya—kejauhan. Kami sudah sangat puas bila ada yang bertanya ‘sudah berapa lembar yang telah dibaca’ kami bisa menjawab: sudah khatam dua kali. Lalu mereka kagum.
Bukankah itu surga?
Tapi itukah sambutan yang sungguh kau
harapkan wahai Ramadhan?
Kami melihat agenda harian kami: Senin buka bersama dengan X, Selasa buka bersama dengan Y, Rabu buka bersama dengan Z sekaligus Sahur on The Road, Kamis.. Jumat.. begitu seterusnya.
Begitulah cara kami merayakan kedatanganmu.
Tarawih bisa dilewat karena sunnah, Shalat
malam jangan ditanya, mana sanggup kami
menunaikannya. Malam-malam kami habiskan dengan tidur dengan lelap karena lelah, jangan sampai kami kesiangan sahur apalagi ketinggalan acara sahur favorit. Nanti kami dibilang tidak gaul.
Shalat shubuh di Bulan Ramadhan bagi kami adalah ritual penting menuju alam mimpi. Ya, kami tidur lagi karena tidur di Bulan Ramadhan adalah ibadah.
Puasa kami tak pernah bolong barang sehari, sebagaimana lisan kami yang tak pernah lupa jadwal amalan gibahnya. Kami begitu kuat menahan lapar, dahaga, berahi, sebagaimana kami begitu kuat menahan harta yang ada di dompet kami—tak ada yang boleh menyentuhnya sebab akan kami gunakan untuk lebaran mahameriah kami. Sesekali kami ingat ucapan
penyair itu: ‘kau akan menjadi milik hartamu jika kau menahannya, dan jika kau menafkahkannya maka harta itu menjadi milikmu.’ Tapi siapa peduli. Lebaran tetaplah lebaran, merayakannya dengan kesederhanaan tak boleh jadi pilihan.
Seperti itukah perlakuan yang ingin kau dapatkan wahai Ramadhan?
Kelak ketika Ramadhan berakhir, kami—dengan mengendarai mobil pribadi kami—akan berkeliling mengunjungi saudara dan kerabat, bermaaf-maafan atau sekadar mencicip kue.
Kami tentu senang, bahagia, karena katanya
kami menang.
Ah, Ramadhan.
Entahlah, kami tak mengerti: barangkali kami memang cuma pura-pura merindukanmu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

MyHistory Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang

Blogger Templates